Artikel

29 Tahun Setelah Konvensi Hak Anak

Tahun ini tepat dua puluh sembilan tahun, sejak Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Jenewa tahun 1989 silam. Kini lebih banyak anak bersekolah dibandingkan di masa sebelumnya, lebih banyak anak mulai terlibat aktif dalam keputusan menyangkut kehidupan mereka, dan sudah tersusun pula peraturan perundang-undangan penting yang melindungi anak. Kondisi ini menjadi point penting dalam mempercepat pembentukan KLA.

Indonesia meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Meskipun demikian, Indonesia tidak menerima seluruh Pasal KHA (total 54 Pasal). Tujuh Pasal kunci yang direservasi oleh Indonesia, yaitu Pasal 1 (Definisi), Pasal 14 (hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama), Pasal 16 (hak privasi), Pasal 17 (hak anak mendapatkan informasi layak anak), Pasal 21 (Adopsi), Pasal 22 (Pengungsi Anak), dan Pasal 29 (tujuan pendidikan).  Ketujuh Pasal ini ditarik oleh Indonesia (Hasan Wirayuda/Menlu Kabinet Indonesia Bersatu Pertama/Kabinet SBY-JK) pada tanggal 11 Januari 2005.

Namun hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.

Keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat yang menjadi penentu keberhasilan dalam mempercepat terwujudnya komitmen negara belum mendapat bantuan dan bimbingan secara teratur, terorganisasi, dan terjadwal. Tanggung jawab utama untuk melindungi, mendidik dan mengembangkan anak terletak pada keluarga. Akan tetapi segenap lembaga pemerintah dan masyarakat belum banyak membantu. Seharusnya lembaga tersebut menghormati hak anak dan menjamin kesejahteraan anak serta memberikan bantuan dan bimbingan yang layak bagi orangtua, keluarga, wali, dan pihak-pihak yang mengasuh anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan stabil serta suasana yang bahagia, penuh kasih dan pengertian. Selain itu, ada pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtu mengenai arti anak. Pada sebagian orangtua memahami anak sebagai ‘amanah’ dan ‘titipan’ yang harus dilindungi dan dihargai. Sedangkan pada sebagian orangtua ‘anak’ sebagai ‘aset keluarga’ dan ‘anak harus mengerti orangtua8’. Pemahaman yang terakhir ini kadang-kadang anak menjadi korban perdagangan anak, eksploitasi ekonomi dan seksual, serta tumbuh dan berkembangnya terabaikan.

Sejumlah besar anak-anak hidup tanpa bantuan orangtua, misalnya anak yatim piatu, anak jalanan, anak pengungsi, anak yang tergusur dari tempat tinggalnya, anak korban perdagangan, anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, serta mereka yang berada di lembaga pemasyarakatan, belum mendapat perhatian dan perlindungan secara khusus. Hal yang sama juga dialami oleh lembaga sosial yang memberikan pelayanan kepada anak-anak tersebut kurang mendapat pembinaan dan apresiasi dari pemerintah dan masyarakat.

Persoalan lain yang cukup dasar adalah kemiskinan yang menjadi satu-satunya kendala terbesar yang merintangi upaya memenuhi kebutuhan, melindungi dan menghormati hak anak. Seharusnya hal ini mendapat perhatian dan sokongan dari pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi persoalan ini di berbagai kabupaten dan kota belum terencana dengan baik dari penciptaan lapangan kerja, ketersediaan mikro-kredit sampai investasi di bidang infrastruktur. Anak-anak adalah warga yang paling terpukul oleh kemiskinan, karena kemiskinan itu sangat mendera mereka untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Prof. Irwanto, PhD bahwa “Salah satu paradoks pembangunan manusia modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika ekonomi membaik dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak tidak menjadi prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik berkecamuk, kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak menjadi korban atau dijadikan tumbal untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa”.

Dari sekian persoalan di atas yang unik adalah otonomi daerah. Sejak urusan wajib di bidang kesehatan, pendidikan, termasuk ‘perlindungan anak’ dan lainnya diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dan kota, sangat berdampak pada pemenuhan hak anak. Muncul berbagai persoalan, seperti meningkatnya kasus gizi buruk, turunnya angka kelulusan baik di SD dan SMP maupun SMA/sederajat di beberapa kabupaten dan kota.

Namun dari sederetan persoalan yang mendera anak, secara nyata yang perlu dipahami oleh kita adalah penerimaan terhadap berbagai komitmen internasional yang disepakati oleh Negara untuk kemajuan anak Indonesia. Sebut saja Deklarasi Dunia dan Rencana Aksi dari World Summit for Children, The Dakar Framework: Education For All dari World Education Forum, Deklarasi Millennium Development Goals, Deklarasi dan Rencana Aksi World Fit for Children, dan yang terakhir Deklarasi dan Rencana Pembangunan Berkelanjutan dari World Summit on Sustainable Development. Semua kesepakatan itu tersimpan rapi di lemari dan laci para Delegasi Indonesia yang sesungguhnya mereka itu juga mempunyai keterbatasan dari segi keilmuan, penguasaan isu anak sampai komunikasi. Dokumen-dokumen tersebut belum tersosialisasi kepada pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, orangtua, dan anak. Sehingga hal ini melahirkan kesenjangan informasi di antara pihak yang terkait dengan komitmen internasional dengan perencana dan penyusun program di lapangan, karena semua kesepakatan internasional tersebut belum menjadi rujukan dalam perencanaan dan kebijakan program pembangunan. Hal ini wajar saja, jika kita menemukan pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah kabupaten atau kota untuk “Memenuhi Hak Anak” sesuai dengan Konvensi dan komitmen Negara. Karena mereka pada dasarnya belum mengetahui dan memahami apa yang sesungguhnya telah menjadi komitmen Negara di tingkat dunia.

Media masa belum mengambil peran secara proporsional. Isu-isu anak selalu kalah dalam berebut ‘kapling’ atau ruang di media masa, cetak maupun elektronik, dan selalu kalah bersaing dengan isu-isu politik yang mendominasi pemberitaan di media. Konsekuensi adalah bahwa opini dan pemahaman publik terhadap isu-isu anak tertinggal sangat jauh dari yang semestinya. Bila ditemui media yang mengangkat isu anak dalam segmen acara ataupun porsi pemberitaannya kesan yang timbul justru potensi pelecehan terhadap hak anak. Karena menempatkan anak sebagai obyek program sehingga sangat banyak ditemui pemberitaan dan program dalam media masa yang justru menjauhkan anak-anak dari originalitas budayanya dan bahkan membuat anak-anak Indonesia terkontaminasi oleh budaya asing.

Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada tantangan besar untuk mempercepat implementasi hak anak di tingkat orangtua, masyarakat, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional pada masa kini dan masa datang. Padahal masalah bukan hanya anak, namun, jika kita tidak segera berinisatif, dikhawatirkan kepentingan terbaik bagi anak terabaikan. Artinya, hak tumbuh dan berkembang mereka kurang optimal, yang akan berujung pada hilangnya satu generasi bangsa.

Penulis: 
Aisyah Putri
Sumber: 
DP3ACSKB
Tags: 
KLA | Konvensi Hak Anak | Komitmen Internasional