Artikel

STOP!! KEKERASAN PADA ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH

GAMBARAN UMUM

KEKERASAN, dalam arti yang luas, bisa mencakup beragam perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Dampak kekerasan secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya si korban enggan mengungkapkan atau menceritakannya. Begitu juga halnya kekerasan yang di alami anak-anak. Efek kekerasan terhadap anak sungguh amat dahsyat karena secara fisik maupun psikologis, kekerasan akan membekas lama dan dalam di relung jiwa seorang anak. Dalam jangka panjang, efek psikologis mungkin yang paling mengkhawatirkan karena bisa memengaruhi perilaku seseorang ketika dewasa bahkan di masa tuanya.  

Akhir-akhir ini pemberitaan tentang kekerasan/penganiayaan yang terjadi di lingkungan sekolah terhadap anak didik menjadi sangat viral baik di pemberitaan maupun di dunia maya baik yang dilakukan oleh tenaga pendidik, orang tua peserta didik ataupun oleh peserta didik itu sendiri. Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan psikis. Proses pemberian punishment (hukuman) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan tapi sudah menjadi kebiasaan.

Jika di tinjau dari sisi peraturan/ Undang-undang di Indonesia kekarasan terhadap anak merupakan pelanggaran yang berat. Berdasarkan   UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 80 Tentang kekerasan fisik, yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
  2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah yaitu pada pasal 54 yang berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”. Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002..

Selain itu di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mempertegas bahwa pendidikan tidak melegalkan tindakan kekerasan seperti yang tertulis pada pasal 3 UU ini yang berbunyi “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.kemudian  pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru (dalam poojetz.wordpress.com :2011). Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa oleh guru. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di samping itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata makian, seperti bodoh, goblok, kurus, ceking dan sebagainya.  Hal ini harus segera di benahi, dengan pembekalan guru yaitu memberikan pengarahan bagaimana menjadi seorang guru yang professional. Professional yang di maksud disini adalah mengerti tugas guru yang sebenarnya dan mengaplikasikannya kepada anak didik dengan sebaik-baiknya. Memang permasalahan menangani anak didik yang kurang pandai ini butuh kesabaran extra, karena jika menanganinya dengan cara kekerasan tidak akan membuat anak didik lebih pintar, tapi akan membuat rasa trauma yang membekas pada ingatan nya. Sebenarnya anak didik yang dikatakan kurang pandai hanya perlu bimbingan lebih lanjut dari seorang pembimbing professional yang memiliki pengetahuan luas dalam pendidikan, agar dapat menghasilkan anak didik yang berkualitas sebagai calon penerus generasi bangsa. Dan seorang guru memang memiliki tanggungjawab yang tinggi dalam kegiatan belajar mengajar karena anak didik sangat cepat menyimpan apapun yang di ucapkan oleh seorang guru,terutama pada pendidikan karakter. Untuk itu peran guru sebagai pendidik dan pengajar sangat berpengaruh pada masa depan anak didik dan bangsa.

SOLUSI MASALAH

Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam dunia pendidikan, tetap saja hal itu adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya tempat bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di sekolah, sekolah justru mematikan perkembangan psikologi siswa. Anak didik atau siswa. Oleh karena itulah diperlukan peran pemerintah untuk membuat standar pendidikan yang baik. Beberapa solusi yang diberikan untuk mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah diantaranyan adalah sebagai berikut:

1) Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah.
2) Mendorong/mengembangkan humaniasi pendidikan;

  • Menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran,
  • Membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus,
  • Suasana belajar yang meriah,gembira dengan memadukan potensi fisik dan psikis.

3) Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan tindakan anak.

4) Terus menerus membekali guru untuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan kreativitas mereka. 

5) Konseling,Bukan siswa saja membutuhkan konseling, tapi juga guru. Sebab guru juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.

6) Segera memberikan pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah,dan menindaklanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik.

Banyak pihak yang masih menghubungkan penegakan disiplin di sekolah  dengan menghukum siswa. Padahal kedua-dua nya tidak saling berhubungan. Karena terbukti penegakan disiplin dengan hukuman hanya akan membuahkan sikap disiplin yang semu yang lahir karena ketakutan bukan karena lahirnya kesadaran akan perbaikan perilaku. Sebenarnya ada jalan tengah diantara disiplin dan menghukum . Jalan tengah itu disebut konsekuensi. Sebuah konsekuensi berarti menempatkan siswa sebagai subyek. Seorang siswa yang dijadikan subyek berarti diberikan tanggung jawab seluas-luas nya dengan konsekuensi sebagai batasan. Ada beberapa cara atau prosedur memberikan hukuman kepada anak didik/ siswa yaitu ;

  1. Jenis hukuman yang diberikan perlu disepakati di awal bersama anak
  2. Jenis hukuman yang diberikan harus jelas sehingga anak dapat memahami dengan baik konsekuensi kesalahan yang dilakukan.
  3. Hukuman harus dapat terukur sejauh mana efektivitas dan keberhasilannya dalam mengubah perilaku anak.
  4. Hukuman harus disampaikan dengan cara yang menyenangkan, tidak disampaikan dengan cara menakutkan apalagi memunculkan trauma berkepanjangan.
  5. Hukuman tidak berlaku jika ada stimulus diluar control. Artinay siswa melakukan kesalahan karena sesuatau yang tidak ia ketahui sebelumnya atau belum disepakati/belum dipublikasikan di awal.
  6. Hukuman dilaksanakan secara konsisten.
  7. Hukuman segera diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul. Penundaan akan berakibat pada biasnya tujuan hukuman yang diberikan.

Beberapa catatan penting yang perlu diberikan dalam memberikan hukuman bernuansa positif pada siswa: Hukuman bersifat positif dan Hukuman tidak membuat trauma. Hindari hukuman yang beresiko trauma biasanya bersifat publis (dilakukan dihadapan orang banyak), menyakiti, membuat malu dan memberikan tekanan. Hukuman yang di berikan harus lah bersifat ; tidak membuat sakit hati, Hukuman memberikan efek jera, Hukuman bersifat pembelajaran.

Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.

  1. Tindakan Alternatif ;Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.
  2. Keakraban Penuh Keterbukaan; Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.
  3. Komunikasi yang Jujur; Untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain.  Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.
  4. Hormati Kebebasan dan Persamaan; Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini semuanya bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.  Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.  Dengan demikian setiap orang harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.
  5. Rasa Kasih yang Berani; Pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian. Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati settiap manusia.  Rasa kasihan bisa digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu.  Di dalam rasa kasihan, tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, untuk memperbaiki kesalahan
  6. Saling Mempercayai Secara Penuh; Untuk mempercayai anak didik secara penuh harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya.  Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti mempercayai dengan membabi buta, harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.
  7. Ketekunan dan Kesabaran; Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner.  Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.  Kesabaran memberikan waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan yang dilakukan agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.  Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak dipersiapkan.  Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu akan siap untuk bertindak dengan cara yang baik.

PENUTUP

Proses pemberian punishment (hukuman) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan psikis yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa anak didik dalam proses pendisiplinan diri, atau kekerasan yang sengaja dilakukan karena terpancing emosi dan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan sama sekali tidak dibenarkan dalam undang-undang dan memberikan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan antara lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan filsafat. Hal ini dapat dicegah apabila guru melaksanakan  prinsip dasar pendidikan tanpa kekerasan. Bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan. Selain itu dalam proses pendidikan diperlukan peran pemerintah untuk membuat standar pendidikan yang baik sebagai solusi yang diberikan untuk mengatasi kekerasan pada anak didik di sekolah.

Selanjutnya Kita semua berharap kisah-kisah suram kekerasan terhadap anak didik secara umum tidak terjadi lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan, kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA

https://poojetz.wordpress.com/2011/01/13/tindak-kekerasan-guru-terhadap-siswa-pada-saat-pembelajaran/

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Penulis: 
Yanuarson
Sumber: 
-